Sabtu, 09 November 2013

Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran


Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran
Oleh:
(Muhammad Fuad, Guru SMPN 4 Rambatan- Kab. Tanah Datar) 

            Dilema yang dihadapi SMP Negeri di daerah pinggiran (Sekolah negeri yang  berjarak < 10 km dari pusat kota kabupaten atau kotamadya) memang tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan, namun selalu menarik untuk dibaca, terutama dalam upaya kepala sekolahnya untuk tetap menjaga ke-existensi-an (keberadaan) sekolahnya dibalik persaingan Tsanawiyah, sekolah lanjutan pertama sederejat yang dikelola Kantor Departemen Agama yang juga memperebutkan tamatan dari sekolah dasar yang sama sebagai calon peserta didiknya.
Sebutan sekolah pinggiran tadi bukan tidak menyisakan persoalan sama sekali, sebut saja dalam upaya meningkatkan jumlah peserta didik tiap tahunnya  walau sekolah pinggiran itu sudah mengiming-imingi bahwa sekolahnya mempunyai jumlah guru bidang studi yang cukup, cakap dan profesional di bidangnya, tersedianya fasilitas iptek (ilmu pengetahuan dan tekhnologi) berupa komputer dan internet, adanya fasilitas olahraga seperti lapangan volly, basket, dan atletik, dan kegiatan ekstra kurikuler misalnya O.S.I.S (Organisasi Siswa Intra Sekolah), pramuka, sholat Zuhur berjama’ah, P.M.R (Palang Merah Remaja), Pentas Seni dan Muhadarah, namun jumlah peserta didik yang mendaftar hanya bertambah 0.1 persen setiap tahunnya.
            Melihat kepada jumlah pendaftar  yang demikian kecil, kepala sekolah di SMP Negeri di daerah pinggiran itu menjadi getir hati juga. Sebuah kecemasan yang cukup beralasan, jangan-jangan malahan pada masa kepemimpinannya seluruh perangkat yang ada disekolahnya terpaksa dipindahkan ke sekolah sederjat karena jumlah peserta didiknya sudah sangat sedikit sekali dari ukuran normal. Jika ini terjadi, untuk bangunan sekolah yang telah ditinggalkan itu tepatlah pantun orang tua kita:” pisang sikalek-kalek hutan, pisang batu nan bagatah, dikecek-an sikola bukan, dikecek-an rumah hantu antah.” Sekolah bukan, peserta didiknya tidak ada, rumah hantu terlalu indah.” Mimpi buruknya seluruh kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran. Disisi lain, amanat untuk terus bisa mendongkrak (meningkatkan) jumlah peserta didik di sekolahnya  adalah yang selalu dipesankan atasan mereka.
            Tidak berhenti dalam rutinitas menerima peserta didik baru saja, kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran juga mengusahakan dalam setiap rapat komite sekolah yang diadakan meminta  pemuka masyarakat, alim ulama, dan cerdik pandai dilingkungan desa tersebut untuk ikut menyemangati orang tua peserta didik agar menyekolahkan anak mereka di sekolahnya.
            Bentuk usaha lain yang dilakukan kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran itu untuk meningkatkan jumlah peserta didik di sekolahnya adalah menerima bulat-bulat (dengan mudah) peserta didik pindahan (selanjutnya disingkat PDP) dari sekolah lain. Bagi kepala sekolah yang tidak mengajar di kelas si PDP tadi tidak akan ada masalah lagi yang dihadapi setelah si PDP tadi belajar di kelas yang ditunjuk, karena tidak tahu bagaimana cara belajar, dan beradaptasinya, dan baru merasa kena getahnya (ikut kesal) jika ikut mengajar dikelas si PDP tadi, melihat cara belajar mereka yang lebih banyak menimbulkan rasa kesal dari pada rasa enaknya.
Pada umumnya (tidak semua) si PDP tersebut bermasalah dengan masalah adaptasi dengan lingkungan baru, tidak kunjung mengerti orang lain kok bisa hidup enjoy (tenang) dengan segala kekurangan yang mereka miliki, dan tidak menyadari saat ini hidup dan tinggal ditempat yang sangat berbeda dibandingkan dengan tempat tinggal yang lama. Akibatnya ketidak mampuan menyesuaikan diri ini diungkapkan dengan sering bolos di jam pelajaran tertentu, tidak hadir tanpa berita sekian hari, iseng mengganggu teman sekelas atau lain kelas, tidak bisa menunjukkan ijazah terakhir, adalah sebagian besar bentuk tingkah laku aneh, kalau tidak boleh dibilang ganjil, si PDP tersebut. Intinya mereka mencari kompensasi (perimbangan) dari ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan baru menjadi problem maker (pembuat masalah) di kelas dan sekolah yang dimasukinya.
            Jika ditelusuri kebelakang, ada tiga kategori PDP ini. Satu, dikarenakan mengikuti orang tua; dua, karena disipak (diberikan surat pindah untuk bersekolah di tempat lain saja, karena disekolah asal tidak bisa lagi dibina), dan ketiga drop out (memakzulkan diri sendiri dari sekolah), dan ingin sekolah lagi tapi tidak disekolah yang sama.
Pada kategori satu diatas, hampir tidak ada masalah yang ditimbulkannya di lingkungannya yang serba baru karena mereka masih mementingkan pendidikan diatas segala-galanya. Keadaan akan bercerita lain pada si PDP kategori kedua dan ketiga diatas. Sesuai kebiasaan, PDP pada kategori dua dan tiga ini  memilih duduk di bangku barisan belakang, khawatir tidak diterima oleh kawan sekelas dalam pergaulan di kelas. Dalam minggu-minggu pertama belajar, mereka akan mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan, dan mencari teman yang seide. Namun ketika teman yang se-ide sudah didapat, waktunya baginya untuk mencari kompensasi ketinggalan pelajaran tadi dengan mengganggu teman sekelas, baik dengan lisan atau perbuatan. Bahkan pernah ada, si PDP ini karena setahun lebih tua dari teman sekelasnya menjadi jagoan di kelasnya, jika dia membutuhkan sesuatu yang tidak ada padanya di dalam kelas seperti penggaris, atau penghapus, maka dia akan mengambil saja dari atas meja kawannya tanpa meminta izin terlebih dulu. Hal ini tentu merupakan gangguan bagi peserta didik lainnya di kelas itu, namun kesemuanya tadi larut dalam maaf, dan mencuat ke permukaan saat ada peserta didik lain yang mengadukan pelecehan yang dilakukan si PDP tadi kepada guru di kantor majelis guru.
Ketika si SI PDP tadi dipanggil ke kantor majelis guru, jadilah dia bulan-bulanan guru, terutama guru wanita yang mengajar dikelasnya. Ada-ada saja tambahan berita buruk tentang si PDP tadi yang mengemuka. Akhir dari interogasi itu adalah kepada si PDP tadi disuruh membuat surat perjanjian untuk tidak lagi mengganggu teman, mengambil peralatan belajar teman sekelas tanpa izin, dan menjadi jagoan di kelas.
Yang namanya anak-anak dengan kecendrungannya yang mudah lupa, selang beberapa waktu kemudian melakukan lagi kesalahan yang hampir sama, bahkan walau sudah surat perjanjian ketiga dibuat yang dibubuhi materai yang berisi pernyataan bersedia dirumahkan atau pindah sekolah kalau masih melakukan pelanggaran tadi namun masih melakukan lagi kesalahan yang hampir sama.
            Disisi lain, rata-rata peserta didik pada kategori kedua dan ketiga diatas bermasalah dengan kemampuan akademiknya, karena memang sudah ketinggalan beberapa kegiatan pembelajaran sebelumnya karena mengurus surat pindah dan mendaftar di sekolah baru di tempat belajarnya sekarang. Sebuah gambaran dari salah seorang PDP dengan inisial “IA”, dari sebelas bidang studi yang diikutinya pada sekolah terdahulu, di dalam rapornya tertulis hanya bidang studi pilihan (Pendidikan Ilmu Al Qur’an) dan mulok (muatan lokal) yang tuntas sebatas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimun- yaitu nilai paling rendah yang harus dicapai), sedangkan nilai bidang studi lainnya dalam keadaan tidak tuntas yang bervariasi.
            Sebagai langkah pembenaran diri oleh Kepala SMP Negeri di daerah pinggiran yang telah menerima PDP tadi dan penolakan dari kalangan guru dengan kemampuan akademik si PDP tadi yang sangat rendah, dengan spontan ditanggapi oleh kepala sekolah daerah pinggiran tadi dengan pemberian bimbingan belajar (sesuatu yang tidak pernah sempat terlaksana karena desakan untuk mengajarkan rincian pelajaran yang telah direncanakan).
            Kepala Sekolah dalam hal ini, sebagai yang terkemuka dalam menerima si PDP ini benar-benar disudutkan pada keadaan “makan buah simalakamo”;(maksudnya dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu pergi atau maju kena mundur kena atau dilemna).” Intinya, keuntungan yang diperoleh dengan diterimanya si PDP ini adalah disamping bertambahnya jumlah peserta didik yang ada di sekolah itu juga bertambahnya jumlah dana B.O.S yang diterima dan bisa dikelola. Jika tidak diterima, jelas akan mendapat teguran dari Kepala Dinas Pendidikan karena meniadakan hak mendapatkan pendidikan untuk PDP tersebut.
            Melihat semua keadaan diatas, kepada orang tua PDP terbesit sebuah pengharapan agar memberikan perhatian ekstra terhadap rutinitas kedatangan dan kepulangan anaknya ke dan dari sekolah. Karena tidak sulit bagi si PDP ini mengecoh orang tua mereka, dan dengan bermodalkan pakaian sekolah pada pagi hari dan waktu teman-teman mereka pulang, merekapun pulang sama dengan mereka. Tapi apakah dengan berpakaian begitu mereka sudah pasti pergi ke sekolah, tidak. Banyak diantara mereka menghabiskan waktu dengan bermain game di play station sebagai tempat yang mereka nilai memberikan kenyamanan tersendiri buat mereka. Hal itu adalah tidak mungkin diantisipasi oleh guru di sekolah, karena terbatasnya waktu dan banyak peserta didik lain di kelas yang harus lebih diperhatikan.
Ada diantara si PDP tidak menjadikan masalah kepindahan mereka ke sekolah, rumah dan lingkungan baru, namun tidak terhitung pula jumlahnya diantara mereka yang malah bertingkah laku sebaliknya. Pendekatan dari orang tua mereka yang berterima kepada sianak dalam hal ini adalah sangat diperlukan. Tidak kalah penting juga bagi orang tua peserta didik pindahan ini mengetahui tempat, teman bermain, serta aktivitas keseharian anaknya dilingkungan yang serba baru.  
            Kepada pengambil keputusan penerima si PDP di sekolah dengan tanpa tujuan mengajari, karena siapa diantara kita yang mau diajar apalagi ditampar, (maaf, sedikit ngelantur), diharapkan agar memberlakukan tekhnik penerimaan bersyarat kepada si PDP selanjutnya yang akan mendaftar. Aplikasi dari tekhnik penerimaan bersyarat ini adalah pengklasifikasian si PDP tersebut pada tiga kategori, kategori satu adalah PDP dengan maksimal empat nilai rapor semester terakhir merah, kategori dua adalah PDP dengan maksimal delapan nilai rapor semester terakhir merah, dan kategori ketiga adalah PDP dengan maksimal 10 nilai rapor semester terakhir merah. Khusus kepada PDP dari kategori dua dan ketiga diharuskan melalui tiga bulan pertama sejak mereka mendaftar menulis sebuah surat perjanjian (bermaterai untuk penguatan) berstatus peserta didik bersyarat dengan tidak bertingkah laku sebagai sumber perkelahian, kedapatan merokok, dan pernah absen / bolos di jam belajar dan dari lingkungan sekolah di jam sekolah. Dan jika si PDP ini bisa melalui tiga bulan pertama ini tanpa pernah sekalipun melanggar isi perjanjian yang telah ditulis, dinyatakan diterima disekolah yang dimasukinya. Bahkan kalau perlu, peserta didik pindahan yang bisa melalui tiga bulan pertama itu dengan hasil baik, diberi hadiah tertentu, tidak perlu yang mahal, untuk memotivasinya terus bertingkah laku baik. Jika ditanyakan kenapa harus tiga bulan, karena tiga bulan itu adalah waktu yang sudah sangat lama untuk bisa dilalui dengan baik oleh seorang PDP yang memang nakal untuk tidak bertingkah laku sesuai persyaratan penerimaan tadi.
            Maksud dari semua ini juga adalah mengajak kita semua untuk mau memperhatikan kembali petuah orang tua kita “ditukuak mako kakurang” Ditambah makanya berkurang. Sesuatu yang ditambah idealnya adalah menambah nilai dari suatu barang atau keadaan, anehnya yang terjadi dalam penerimaan PDP ini adalah hal yang sebaliknya. Keberadaan peserta didik pada kategori kedua dan ketiga ini hanya menambah masalah saja, diluar masalah yang sudah ada. Siapapun PDP yang ingin bersekolah, adalah kewajiban kita untuk memberi mereka bekal kehidupan berupa ilmu pengetahuan, namun kepada mereka perlu diberikan suatu ketetapan pengendalian diri agar dengan itu mereka benar-benar menjaga sikap dan tingkah laku mereka dan ikut bertanggung jawab menjaga nama baik sekolah yang sudah terjaga dan tidak tercoreng karena ulah dan kehadiran mereka.
            Diakui, masalah menerima si PDP adalah hak perrogratif kepala sekolah. Namun apa arti keikut-sertaan kepala sekolah mengeluhkan sikap si PDP  dihadapan guru saat jam istirahat di kantor majelis guru, dan pada waktu berbeda menerima tanpa aling-aling (syarat) peserta didik pindahan dari sekolah lain. Atau semuanya itu hanya baso (kepura-puraan) yang sudah kamseupai (kampungan sekali dan payah). Padahal masalah dasarnya adalah adanya kemauan untuk mau menerapkan penerimaan bersyarat tersebut.
            Semoga sesudah mengenali adanya sistem penerimaan bersyarat kepada peserta didik pindahan ini segenap kepala sekolah di daerah pinggiran bersedia menerapkannya di sekolahnya, karena terlarang tidak memberi kesempatan belajar kepada mereka, namun kita juga tidak mau di pecundangi oleh tingkah laku mereka yang tidak baik. Selamat mencoba, wass.



Jumat, 08 November 2013

MuHaMMaD FuaD: Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran

MuHaMMaD FuaD: Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran: Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran Oleh: (Muhammad Fuad, Guru SMPN 4 Rambatan- Kab. Tanah Datar)               Dilema yang dihadapi ...

Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran

Fenomena SMP Negeri di Daerah Pinggiran
Oleh:
(Muhammad Fuad, Guru SMPN 4 Rambatan- Kab. Tanah Datar) 

            Dilema yang dihadapi SMP Negeri di daerah pinggiran (Sekolah negeri yang  berjarak < 10 km dari pusat kota kabupaten atau kotamadya) memang tidak akan ada habisnya untuk dibicarakan, namun selalu menarik untuk dibaca, terutama dalam upaya kepala sekolahnya untuk tetap menjaga ke-existensi-an (keberadaan) sekolahnya dibalik persaingan Tsanawiyah, sekolah lanjutan pertama sederejat yang dikelola Kantor Departemen Agama yang juga memperebutkan tamatan dari sekolah dasar yang sama sebagai calon peserta didiknya.
Sebutan sekolah pinggiran tadi bukan tidak menyisakan persoalan sama sekali, sebut saja dalam upaya meningkatkan jumlah peserta didik tiap tahunnya  walau sekolah pinggiran itu sudah mengiming-imingi bahwa sekolahnya mempunyai jumlah guru bidang studi yang cukup, cakap dan profesional di bidangnya, tersedianya fasilitas iptek (ilmu pengetahuan dan tekhnologi) berupa komputer dan internet, adanya fasilitas olahraga seperti lapangan volly, basket, dan atletik, dan kegiatan ekstra kurikuler misalnya O.S.I.S (Organisasi Siswa Intra Sekolah), pramuka, sholat Zuhur berjama’ah, P.M.R (Palang Merah Remaja), Pentas Seni dan Muhadarah, namun jumlah peserta didik yang mendaftar hanya bertambah 0.1 persen setiap tahunnya.
            Melihat kepada jumlah pendaftar  yang demikian kecil, kepala sekolah di SMP Negeri di daerah pinggiran itu menjadi getir hati juga. Sebuah kecemasan yang cukup beralasan, jangan-jangan malahan pada masa kepemimpinannya seluruh perangkat yang ada disekolahnya terpaksa dipindahkan ke sekolah sederjat karena jumlah peserta didiknya sudah sangat sedikit sekali dari ukuran normal. Jika ini terjadi, untuk bangunan sekolah yang telah ditinggalkan itu tepatlah pantun orang tua kita:” pisang sikalek-kalek hutan, pisang batu nan bagatah, dikecek-an sikola bukan, dikecek-an rumah hantu antah.” Sekolah bukan, peserta didiknya tidak ada, rumah hantu terlalu indah.” Mimpi buruknya seluruh kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran. Disisi lain, amanat untuk terus bisa mendongkrak (meningkatkan) jumlah peserta didik di sekolahnya  adalah yang selalu dipesankan atasan mereka.
            Tidak berhenti dalam rutinitas menerima peserta didik baru saja, kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran juga mengusahakan dalam setiap rapat komite sekolah yang diadakan meminta  pemuka masyarakat, alim ulama, dan cerdik pandai dilingkungan desa tersebut untuk ikut menyemangati orang tua peserta didik agar menyekolahkan anak mereka di sekolahnya.
            Bentuk usaha lain yang dilakukan kepala sekolah SMP Negeri di daerah pinggiran itu untuk meningkatkan jumlah peserta didik di sekolahnya adalah menerima bulat-bulat (dengan mudah) peserta didik pindahan (selanjutnya disingkat PDP) dari sekolah lain. Bagi kepala sekolah yang tidak mengajar di kelas si PDP tadi tidak akan ada masalah lagi yang dihadapi setelah si PDP tadi belajar di kelas yang ditunjuk, karena tidak tahu bagaimana cara belajar, dan beradaptasinya, dan baru merasa kena getahnya (ikut kesal) jika ikut mengajar dikelas si PDP tadi, melihat cara belajar mereka yang lebih banyak menimbulkan rasa kesal dari pada rasa enaknya.
Pada umumnya (tidak semua) si PDP tersebut bermasalah dengan masalah adaptasi dengan lingkungan baru, tidak kunjung mengerti orang lain kok bisa hidup enjoy (tenang) dengan segala kekurangan yang mereka miliki, dan tidak menyadari saat ini hidup dan tinggal ditempat yang sangat berbeda dibandingkan dengan tempat tinggal yang lama. Akibatnya ketidak mampuan menyesuaikan diri ini diungkapkan dengan sering bolos di jam pelajaran tertentu, tidak hadir tanpa berita sekian hari, iseng mengganggu teman sekelas atau lain kelas, tidak bisa menunjukkan ijazah terakhir, adalah sebagian besar bentuk tingkah laku aneh, kalau tidak boleh dibilang ganjil, si PDP tersebut. Intinya mereka mencari kompensasi (perimbangan) dari ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan lingkungan baru menjadi problem maker (pembuat masalah) di kelas dan sekolah yang dimasukinya.
            Jika ditelusuri kebelakang, ada tiga kategori PDP ini. Satu, dikarenakan mengikuti orang tua; dua, karena disipak (diberikan surat pindah untuk bersekolah di tempat lain saja, karena disekolah asal tidak bisa lagi dibina), dan ketiga drop out (memakzulkan diri sendiri dari sekolah), dan ingin sekolah lagi tapi tidak disekolah yang sama.
Pada kategori satu diatas, hampir tidak ada masalah yang ditimbulkannya di lingkungannya yang serba baru karena mereka masih mementingkan pendidikan diatas segala-galanya. Keadaan akan bercerita lain pada si PDP kategori kedua dan ketiga diatas. Sesuai kebiasaan, PDP pada kategori dua dan tiga ini  memilih duduk di bangku barisan belakang, khawatir tidak diterima oleh kawan sekelas dalam pergaulan di kelas. Dalam minggu-minggu pertama belajar, mereka akan mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan, dan mencari teman yang seide. Namun ketika teman yang se-ide sudah didapat, waktunya baginya untuk mencari kompensasi ketinggalan pelajaran tadi dengan mengganggu teman sekelas, baik dengan lisan atau perbuatan. Bahkan pernah ada, si PDP ini karena setahun lebih tua dari teman sekelasnya menjadi jagoan di kelasnya, jika dia membutuhkan sesuatu yang tidak ada padanya di dalam kelas seperti penggaris, atau penghapus, maka dia akan mengambil saja dari atas meja kawannya tanpa meminta izin terlebih dulu. Hal ini tentu merupakan gangguan bagi peserta didik lainnya di kelas itu, namun kesemuanya tadi larut dalam maaf, dan mencuat ke permukaan saat ada peserta didik lain yang mengadukan pelecehan yang dilakukan si PDP tadi kepada guru di kantor majelis guru.
Ketika si SI PDP tadi dipanggil ke kantor majelis guru, jadilah dia bulan-bulanan guru, terutama guru wanita yang mengajar dikelasnya. Ada-ada saja tambahan berita buruk tentang si PDP tadi yang mengemuka. Akhir dari interogasi itu adalah kepada si PDP tadi disuruh membuat surat perjanjian untuk tidak lagi mengganggu teman, mengambil peralatan belajar teman sekelas tanpa izin, dan menjadi jagoan di kelas.
Yang namanya anak-anak dengan kecendrungannya yang mudah lupa, selang beberapa waktu kemudian melakukan lagi kesalahan yang hampir sama, bahkan walau sudah surat perjanjian ketiga dibuat yang dibubuhi materai yang berisi pernyataan bersedia dirumahkan atau pindah sekolah kalau masih melakukan pelanggaran tadi namun masih melakukan lagi kesalahan yang hampir sama.
            Disisi lain, rata-rata peserta didik pada kategori kedua dan ketiga diatas bermasalah dengan kemampuan akademiknya, karena memang sudah ketinggalan beberapa kegiatan pembelajaran sebelumnya karena mengurus surat pindah dan mendaftar di sekolah baru di tempat belajarnya sekarang. Sebuah gambaran dari salah seorang PDP dengan inisial “IA”, dari sebelas bidang studi yang diikutinya pada sekolah terdahulu, di dalam rapornya tertulis hanya bidang studi pilihan (Pendidikan Ilmu Al Qur’an) dan mulok (muatan lokal) yang tuntas sebatas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimun- yaitu nilai paling rendah yang harus dicapai), sedangkan nilai bidang studi lainnya dalam keadaan tidak tuntas yang bervariasi.
            Sebagai langkah pembenaran diri oleh Kepala SMP Negeri di daerah pinggiran yang telah menerima PDP tadi dan penolakan dari kalangan guru dengan kemampuan akademik si PDP tadi yang sangat rendah, dengan spontan ditanggapi oleh kepala sekolah daerah pinggiran tadi dengan pemberian bimbingan belajar (sesuatu yang tidak pernah sempat terlaksana karena desakan untuk mengajarkan rincian pelajaran yang telah direncanakan).
            Kepala Sekolah dalam hal ini, sebagai yang terkemuka dalam menerima si PDP ini benar-benar disudutkan pada keadaan “makan buah simalakamo”;(maksudnya dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu pergi atau maju kena mundur kena atau dilemna).” Intinya, keuntungan yang diperoleh dengan diterimanya si PDP ini adalah disamping bertambahnya jumlah peserta didik yang ada di sekolah itu juga bertambahnya jumlah dana B.O.S yang diterima dan bisa dikelola. Jika tidak diterima, jelas akan mendapat teguran dari Kepala Dinas Pendidikan karena meniadakan hak mendapatkan pendidikan untuk PDP tersebut.
            Melihat semua keadaan diatas, kepada orang tua PDP terbesit sebuah pengharapan agar memberikan perhatian ekstra terhadap rutinitas kedatangan dan kepulangan anaknya ke dan dari sekolah. Karena tidak sulit bagi si PDP ini mengecoh orang tua mereka, dan dengan bermodalkan pakaian sekolah pada pagi hari dan waktu teman-teman mereka pulang, merekapun pulang sama dengan mereka. Tapi apakah dengan berpakaian begitu mereka sudah pasti pergi ke sekolah, tidak. Banyak diantara mereka menghabiskan waktu dengan bermain game di play station sebagai tempat yang mereka nilai memberikan kenyamanan tersendiri buat mereka. Hal itu adalah tidak mungkin diantisipasi oleh guru di sekolah, karena terbatasnya waktu dan banyak peserta didik lain di kelas yang harus lebih diperhatikan.
Ada diantara si PDP tidak menjadikan masalah kepindahan mereka ke sekolah, rumah dan lingkungan baru, namun tidak terhitung pula jumlahnya diantara mereka yang malah bertingkah laku sebaliknya. Pendekatan dari orang tua mereka yang berterima kepada sianak dalam hal ini adalah sangat diperlukan. Tidak kalah penting juga bagi orang tua peserta didik pindahan ini mengetahui tempat, teman bermain, serta aktivitas keseharian anaknya dilingkungan yang serba baru.  
            Kepada pengambil keputusan penerima si PDP di sekolah dengan tanpa tujuan mengajari, karena siapa diantara kita yang mau diajar apalagi ditampar, (maaf, sedikit ngelantur), diharapkan agar memberlakukan tekhnik penerimaan bersyarat kepada si PDP selanjutnya yang akan mendaftar. Aplikasi dari tekhnik penerimaan bersyarat ini adalah pengklasifikasian si PDP tersebut pada tiga kategori, kategori satu adalah PDP dengan maksimal empat nilai rapor semester terakhir merah, kategori dua adalah PDP dengan maksimal delapan nilai rapor semester terakhir merah, dan kategori ketiga adalah PDP dengan maksimal 10 nilai rapor semester terakhir merah. Khusus kepada PDP dari kategori dua dan ketiga diharuskan melalui tiga bulan pertama sejak mereka mendaftar menulis sebuah surat perjanjian (bermaterai untuk penguatan) berstatus peserta didik bersyarat dengan tidak bertingkah laku sebagai sumber perkelahian, kedapatan merokok, dan pernah absen / bolos di jam belajar dan dari lingkungan sekolah di jam sekolah. Dan jika si PDP ini bisa melalui tiga bulan pertama ini tanpa pernah sekalipun melanggar isi perjanjian yang telah ditulis, dinyatakan diterima disekolah yang dimasukinya. Bahkan kalau perlu, peserta didik pindahan yang bisa melalui tiga bulan pertama itu dengan hasil baik, diberi hadiah tertentu, tidak perlu yang mahal, untuk memotivasinya terus bertingkah laku baik. Jika ditanyakan kenapa harus tiga bulan, karena tiga bulan itu adalah waktu yang sudah sangat lama untuk bisa dilalui dengan baik oleh seorang PDP yang memang nakal untuk tidak bertingkah laku sesuai persyaratan penerimaan tadi.
            Maksud dari semua ini juga adalah mengajak kita semua untuk mau memperhatikan kembali petuah orang tua kita “ditukuak mako kakurang” Ditambah makanya berkurang. Sesuatu yang ditambah idealnya adalah menambah nilai dari suatu barang atau keadaan, anehnya yang terjadi dalam penerimaan PDP ini adalah hal yang sebaliknya. Keberadaan peserta didik pada kategori kedua dan ketiga ini hanya menambah masalah saja, diluar masalah yang sudah ada. Siapapun PDP yang ingin bersekolah, adalah kewajiban kita untuk memberi mereka bekal kehidupan berupa ilmu pengetahuan, namun kepada mereka perlu diberikan suatu ketetapan pengendalian diri agar dengan itu mereka benar-benar menjaga sikap dan tingkah laku mereka dan ikut bertanggung jawab menjaga nama baik sekolah yang sudah terjaga dan tidak tercoreng karena ulah dan kehadiran mereka.
            Diakui, masalah menerima si PDP adalah hak perrogratif kepala sekolah. Namun apa arti keikut-sertaan kepala sekolah mengeluhkan sikap si PDP  dihadapan guru saat jam istirahat di kantor majelis guru, dan pada waktu berbeda menerima tanpa aling-aling (syarat) peserta didik pindahan dari sekolah lain. Atau semuanya itu hanya baso (kepura-puraan) yang sudah kamseupai (kampungan sekali dan payah). Padahal masalah dasarnya adalah adanya kemauan untuk mau menerapkan penerimaan bersyarat tersebut.
            Semoga sesudah mengenali adanya sistem penerimaan bersyarat kepada peserta didik pindahan ini segenap kepala sekolah di daerah pinggiran bersedia menerapkannya di sekolahnya, karena terlarang tidak memberi kesempatan belajar kepada mereka, namun kita juga tidak mau di pecundangi oleh tingkah laku mereka yang tidak baik. Selamat mencoba, wass.